Sebelas Patriot, Bukan Sekadar tentang Penggemar Bola

Sabjan Badio

Ikal tahu, ayahnya adalah pekerja tambang biasa. Tidak ada hal luar biasa yang patut dibayangkan dari seseorang yang biasa. Seperti orang biasa lain, nasib bapaknya akan begitu-begitu saja hingga akhir hayatnya. Sampai suatu ketika Ikal menemukan album foto tua yang sengaja disimpan sang ayah.

Ikal menjadi sangat penasaran, sebab ibunya yang mengetahui dirinya memeriksa album tersebut langsung melarang, bahkan menyimpan album tersebut di suatu tempat yang sulit ditemukannya. Dengan sebuah perjuangan, akhirnya Ikal menemukan kembali foto tersebut.

Mendapati foto yang dicarinya, Ikal kembali bingung, dia tidak tahu kepada siapa harus bertanya. Tidak ada orang seusia ayahnya yang bisa diminta bercerita. Sementara  itu, yang lebih muda, tentu tidak akan tahu perihal foto tersebut. Hingga akhirnya kesempatan menghampirinya, masih ada seorang pemburu tua yang dimungkinkan mengetahui foto tersebut.

Dari pemburu itulah Ikal mengetahui siapa bapaknya sesungguhnya. Lelaki pincang itu, yang sangat pendiam itu, yang jarang menjawab ketika ditanya itu, yang sangat suka sepak bola itu, yang tim favoritnya PSSI itu, sesungguhnya adalah seorang bintang lapangan. Pada masanya, ayahnya telah membela kampungnya tidak hanya atas kampung-kampung atau klub-klub yang lain, tetapi juga atas tim Belanda, sesuatu yang seharusnya diharamkan: sepak bola bukan sekadar pemainan, tetapi juga alat politik. Melalui sepak bola nasionalisme rakyat Indonesia sangat mudah tersulut.

Pelatih Amin pun diminta oleh penguasa Belanda setempat untuk membangkucadangkan ayahnya bersaudara. Namun, larangan itu tidak dihiraukan, akhirnya kakak keduanya berhasil menyarangkan satu gol ke gawang Belanda. Akibatnya, mereka dimarahi habis-habisan. Kedua kakaknya pun dibuang Belanda. Ditinggal ketiga saudara tersebut, timnya pun terpaksa menanggung kekalahan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tim Belanda menang lagi.

Pada penghujung kekuasaan kolonialnya di Indonesia, Belanda mengembalikan tiga bersaudara itu ke tempat asalnya. Kesempatan tersebut tidak tersia, ketiganya kembali turun ke lapangan dan untuk pertama kalinya tim Belanda kalah oleh pemain lokal: Belanda kecolongan dan teriakan Indonesia pun membahana.

Peristiwa inilah yang menjadi cikal-bakal kehancuran karier sepak bola ayahnya. Setelah kejadian tersebut, ketiga saudara dikurung di tangsi Belanda dan ketika pulang, tempurung kaki sang ayah telah hancur. Rupa-rupanya itulah alasan mengapa selama ini ayahnya terpincang-pincang saat berjalan. Itu pula rupanya alasan bekas-bekas luka di punggung ayahnya, luka-luka bekas cambuk, luka-luka bekas siksaan, luka-luka lambang patriotisme.

Merasakan darah pemain sepak bolah mengalir ke dalam tubuhnya, merasakan jiwa seorang pejuang sejati turun langsung ke dalam tubuhnya, Ikal pun bertekad menjadi pemain sepak bola. Pelatihnya adalah Toharun, putra Pelatih Amin, seorang pelatih yang memiliki filosofi buah-buahan, seorang pelatih yang mengukur kehebatan seorang pemain dari pantatnya.

Perjuangan Ikal tidak sia-sia, dia pun behasil menjadi pemain yunior di kabupaten, bahkan Provinsi Sumatra Selatan. Namun, dia harus menanggung kecewa, karena tidak berhasil lulus ke tingkat nasional, otomatis tidak bisa menjadi pemain PSSI. Ironisnya, ketidaklulusannya ternyata soal pantat, yang dalam teori pelatih provinsi maknanya ternyata berlawanan dengan pemaknaan pelatih Toharun.

Itulah di antara kisah yang diungkap Andrea dalam novel pendek setebal 124 halaman ini. Cerita tidak berakhir di sana, ada pula kisah Ikal ketika belajar di Universitas Sorbonne. Selama di sana dia sempat mengunjungi Real Madrid untuk membeli kaus bertanda tangan Luis Figo, tentu saja dengan perjuangan yang tidak mudah. Di sana pulalah dia menemukan Adriana, seorang perempuan penggila bola. Di sana pulalah dia menyadari eksistensi perempuan dalam dunia pecinta persepakbolaan: fakta-fakta mengejutkan ditemukannya, di antaranya melalui pemikiran Adriana dan dari survei kecilnya.

Novel ini tidak sekadar berisi permainan sepak bola. Seperti judulnya, ada nilai-nilai patriotisme yang hendak ditonjolkan. Di satu sisi nilai patriotisme muncul. Akan tetapi, di sisi lain, Andrea sedikit terjebak dalam romatisme keluarga, kebanggaan terhadap ayahnya, sehingga nilai patriotisme tersebut berada pada pusaran besar yang titik pusatnya justru ayahnya sendiri, bukan negara atau bangsanya.

Tidak seperti novel-novel sebelumnya, cerita Sebelas Patriot terkesan "berlari", kemungkinan dikarenakan penggarapannya memang difokuskan kepada pesan yang hendak disampaikan. Pengenalan atas tokoh-tokoh dan latar terkesan kurang. Bagi seseorang yang menjadikan Sebelas Patriot sebagai novel pertama yang dibacanya tentu saja agak kebingungan mengenali siapa sebenarnya Ikal? Bagaimana caranya anak kampung seperti dia sampai ke Universitas Sorbonne? Juga, tentunya pertanyaan-pertanyaan lain yang mengundang penasaran. Saya pun menyimpulkan, bahwa novel Sebelas Patriot secara de facto adalah "lanjutan" dari Cinta di Dalam Gelas, sebagaimana Cinta di Dalam Gelas "lanjutan" dari Padang Bulan dan Padang Bulan "lanjutan" tetralogi Laskar Pelangi.

Judul: Sebelas Patriot
Pengarang: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Ridiyanto, Ditta Sekar Campaka
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: 2011
Tebal: xii + 112 halaman
ISBN: 978-602-8811-52-1

2 komentar:

Siska mengatakan...

Novel yang bagus sebenarnya. Akan tetapi, tidak mampu mengalahkan pamor karya-karya terdahulu.

SB mengatakan...

Yang terlalu sudah bagus, jadi membuat yang lebih bagus lebih sulit. :-)

"Yang ini sebenarnya juga bagus, hanya saja tidak begitu meledak seperti yang terdahulu."

Tulisan Populer Pekan ini