Aku, Bahasa Indonesia, dan Sumpah Pemuda

kaskus.co.id
Sabjan Badio

Orang tuaku dilahirkan di sebuah desa yang masih berbau Melayu. Sedikit bau Melayu tersebut membuat mereka tidak begitu asing dengan bahasa Indonesia. Tinggal di perumahan sebuah lembaga pendidikan—yang menurut undang-undang bahasa pengantarnya wajib menggunakan bahasa Indonesia, membuat lebih akrab lagi dengan bahasa Indonesia.

Tempat lahirku berbeda dengan tempat lahir ayah dan ibuku. Aku dilahirkan di tepian hutan lindung, yang bernama Ketenong. Waktu itu Ketenong belum menjadi kabupaten seperti sekarang. Sehari-hari di lingkungan aku menggunakan bahasa daerah, sesampai di rumah, aku menggunakan bahasa Indonesia. Waktu itu, aku merasakan ada sedikit gengsi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Namun, bukanlah maksudku untuk gagah-gagahan. Kami menggunakan bahasa Indonesia karena orang tuaku berasal dari daerah lain yang otomatis bahasanya berbeda dengan bahasa yang digunakan di tanah kelahiranku. Agar tidak membingungkanku, mereka memutuskan menggunakan bahasa Indonesia di rumah setelah bahasa daerah kelahiranku, bahasa Rejang. Gengsi yang kurasakan waktu itu, sekarang sudah mulai pudar, tergerus arus popularitas bahasa asing.

Tidak lama kemudian, kami pindah ke daerah yang lebih ramai, bernama Muara Aman. Daerah ini sama seperti di Ketenong, masih menggunakan bahasa Rejang. Oleh karena daerahnya lebih ramai, beragam lagi orang yang kutemukan di sana, mulai yang berasal dari kabupaten lain di Provinsi Bengkulu sampai yang berasal dari provinsi dan pulau berbeda. Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia membuatku tidak sulit bergaul dengan orang-orang di lingkunganku.

Aku tidak lama di Muara Aman. Ketika umurku menginjak lima tahun, kami pindah ke Kabupaten Bengkulu Selatan, tepatnya di Kecamatan Talo. Yang pertama kuarasai ketika sampai di daerah baru adalah persoalan bahasa. Bahasa masyarakat di Talo menurutku aneh, ada fonem (atau fona?) /o/ yang begitu menonjol. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata kita, sama, dan masa, orang Talo menyebutnya kito, samo, dan maso. Begitu banyak kata-kata dengan fonem /o/.

Bahasa ini aku namakan bahasa Talo karena walaupun memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu dan tentu saja bahasa Indonseia, ada begitu banyak kosakata yang tidak sama dengan bahasa Indonesia. Untuk mengatakan nanti saja, orang Talo mengatakan kata kudai, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘bakul’ dan bisa pula diartikan sebagai ‘tempat sirih bundar dari perak’.

Beberapa tahun berselang, aku pun duduk di kelas lima SD. Banyak suka duka yang terasa, termasuk di antaranya kenangan atas seorang siswi pindahan yang berwajah penuh dan tak lepas dari senda gurau. Dia berbahasa Indonesia, sedikit kesulitan berkomunikasi dengan teman-teman. Oleh karena fasih berbahasa Indonesia, aku sering diajak mengobrol dan bersenda-gurau. Aku gembira sekali waktu itu. Sayang, itu tidak lama. Si siswi baru harus pindah, pun begitu denganku. Dia pindah ke suatu tempat yang aku sendiri tak tahu itu di mana. Sementara aku, pindah ke kecamatan lain, yaitu Kecamatan Pino.

Bahasa masyarakat Pino tidak jauh berbeda dengan masyarakat Talo. Hanya beberapa saja kosakata yang berbeda, selain itu masalah bunyi /o/ di Talo menjadi /au/ di Pino. Walaupun begitu, ada sedikit kesulitan untuk langsung ber-transformasi  menjadi /au/. Selanjutnya masalah /r/ yang menjadi /gh/ bukanlah perkara serius karena sudah kualami saat di Talo.

Rupa-rupanya garis hidupku telah ditetapkan untuk berpindah-pindah. Kemudian, aku ke Manna, ke Yogyakarta, dan sekarang di Bantul. Yogyakarta dan Bantul sekadar perbedaan pemimpin dan keramaian bagiku, bukan perbedaan bahasa. Yogyakara lebih ramai dibandingkan Bantul dan bentuknya kotamadya sementara Bantul kabupaten. Keramaian Yogyakarta bukan karena program KB (Keluarga Berenana) yang gagal, melainkan disebabkan banyak faktor, di antaranya karena banyaknya pendatang, baik pendatang dari kabupaten lain dalam Provinsi DI Yogyakarta, maupun pendatang dari provinsi bahkan negara lain.

Di tengah keramaian Yogyakarta, aku hampir bisa menemukan berbagai etnis yang ada di Indonesia. Sebagian besar di antaranya datang oleh karena ingin melanjutkan pendidikan. Dengan begitu, otomatis mereka adalah orang-orang terdidik yang pasti sangat akrab dengan bahasa Indonesia. Itu sama artinya bahasa Indonesia sangat cukup digunakan sebagai alat komunikasi di Yogyakarta.

Saat berkunjung ke daerah-derah lain pun, ke Pati, DKI Jakarta, Magelang, Madura, Surabaya, cukup dengan modal bahasa Indonesia. Saat berkunjung ke berbagai lembaga pemerintahan, dinas pendidikan, balai bahasa, Mabes Polri, pengadilan, pun cukup menggunakan bahasa Indonesia. Rupa-rupanya apa yang dicanangkan oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 silam tidak sia-sia. Ini tidak mungkin terjadi pada negara-negara dwibahasa seperti Kanada, apalagi negara-negara dengan multibahasa. Di peradilan, di lembaga pendidikan, atau pada tempat lain mungkin saja yang ditemui bahasa resmi yang tidak kita gunakan dalam keseharian. Memang, orang Kanada 98% menguasai kedua bahasa resminya, bahasa Inggris dan Perancis, akan tetapi rasanya pastilah tidak akan sama dengan negara yang hanya mengakui satu bahasa resmi seperti Indonesia. Lagi pula, walaupun hanya 2%, mereka adalah orang-orang yang tentu saja merasa tidak nyaman dengan konsep dwibahasa.

Apa yang dikatakan Ahmad Fuadi dalam trilogi Negeri 5 Menara patut dicermati. Keadaan Indonesia dengan 700-an bahasa daerah menjadi keheranan sendiri bagi negara-negara lain. Bagaimana bisa negara dengan bahasa daerah sebanyak itu bisa diseleraskan hanya dengan satu bahasa resmi negara?

Bersyukur waktu itu pada Sumpah Pemuda yang diakui adalah bahasa Indonesia. Walaupun memiliki gen bahasa Melayu, bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu. Mungkin inilah di antara yang mendasari bahwa masyarakat Indonesia nyaman-nyaman saja dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah milik bersama yang eksistensinya harus dijaga bersama. Bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan merupakan lambang nasionalisme yang di negara lain mungkin tidak berlaku—oleh karena asal-usul bahasa yang digunakan di negara-negara bersangkutan. Bahasa Indonesia adalah milik bersama yang merupakan ciri khas keberadaan dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mampu merekatkan berbagai perbedaan di tanah air. Berbeda warna kulit, berbeda adat-kebiasaan, berbeda agama dan kepercayaan, semua menjadi satu dalam tulis dan lisan.

Di tengah kebanggaan atas bahasa Indonesia tersebut, ada sedikit kesedihan, di antaranya tentang program SBI dan kecenderungan masyarakat Indonesia untuk lebih bangga dengan mempelajari bahasa asing. Bukan tidak setuju dengan standar internasional. Permasalahannya, masyarakat pendidikan di Indonesia belum siap dengan namanya SBI ataupun sekadar RSBI. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidaklah menjadikan RSBI atau SBI sebagai sekolah bertaraf internasional. Kenyataannya para guru, para siswa, masih banyak yang belum mahir berbahasa Inggris. Apa yang terjadi jika mereka harus mengajar dalam bahasa Inggris? Tercetus kabar penggunaan bahasa Inggris dalam KBM (kegiatan belajar-mengajar) justru mempersulit para siswa dalam memahami pelajaran.

Sejalan dengan itu, masyarakat Indonesia pun semakin grandung dengan namanya TOEFL dan TOEIC. Di tengah kegandrungan tersebut, banyak yang tidak tahu tentang keberadaan UKBI (uji kemahiran berbahasa Indonesia). Jika pu tahu, banyak yang tidak berminat untuk mengikutinya. Lembaga-lembaga pendidikan pun berbondong-bondong menjadikan TOEFL sebagai satu di antara ukuran untuk diterima atau lulus di lembaganya, namun tidak ada yang menggunakan skor UKBI sebagai syarat masuk ataupun lulus. Lembaga pemerintahan juga tidak mau ketinggalan, ada lembaga yang menyaratkan skor TOEFL 600 untuk karyawannya, namun skor UKBI sama sekali tidak disinggung.

Padahal, di negara asing saja, bahasa Indonesia mulai disadari nilai pentingnya. Ada kabar bahasa Indonesia juga diajarkan di negara-negara lain. Beberapa perguruan tinggi yang berpandangan maju pun telah membuka kerjasama pembukaan jurusan bahasa dan/atau sastra Indonesia di negara asing. Ini tentu langkah yang sangat baik. Bahkan, kabarnya dinas rahasia negara tetangga pun perlu merekrut doktor dalam bidang bahasa Indonesia oleh karena merasakan pentingnya bahasa Indonesia dalam aktivititas mereka. Masyarakat Indonesia pun merasakan bahwa ini bukan sekadar persoalan bahasa melainkan juga persoalan strategisnya posisi NKRI dalam pengamatan rahasia mereka.

Melalui kabar perekrutan para doktor itu, kudapati semangat Sumpah Pemuda yang rupa-rupanya masih bergema. Beberapa orang berkomentar bahwa gaji besar tak ada gunanya jika itu akan mengorbankan kepentingan negara. Mengajarkan bahasa Indonesia pada agen-agen rahasia negara asing sama saja mengizinkan mereka memata-matai negeri sendiri. Aku sangat salut pada mereka ini! Ini adalah Sumpah Pemuda dalam "versi lain", Sumpah Pemuda dalam "versi" implementasi.


0 komentar:

Tulisan Populer Pekan ini