Sabjan
Badio
"Trus kenapa?
Masalah buat loh?" Itu adalah dua kalimat yang kerap muncul di layar kaca
Indonesia akhir-akhir ini. Kalimat tersebut menurut Zain (2012) dipopulerkan
oleh Soimah melalui acara televisi bertajuk Show Imah. Kata tersebut melengkapi
sosok Soimah yang glamor dan terkesan sombong. Setidaknya begitulah yang
terkesan melalui acara tersebut, kesan yang menurut klarifikasi Soimah, sengaja
direkayasa sedemikian rupa semata demi kepentingan dunia hiburan.
Lebih lanjut, Zain
mengemukakan bahwa permasalahan kalimat "Masalah buat loh?" tidak
sebatas kesombongan, ada pula unsur keegoisan yang jauh dari sifat toleran dan
empati. Orang yang mengatakan kalimat “Masalah buat loe?” merupakan
pengejawantahan sosok yang tidak mau diatur alias orang yang mau enaknya
sendiri. Selain sombong dan egois, terkesan pula keinginan untuk menunjukkan
eksistensi diri dan keinginan untuk mendapat pengakuan atas keberadaannya.
Dalam KBBI (2008),
kalimat “Masalah buat loe?” lekat dengan unsur cakapan. Kata masalah memang
telah dibakukan penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kata buat dan lo/loh/eloh (dalam KBBI ditulis
lu) pada konteks tersebut hanya
digunakan dalam ragam cakapan yang berarti ‘bagi’ dan ‘kamu’.
Bahasa Indonesia berbeda
dengan bahasa Jawa yang memiliki strata yang sangat kentara. Dalam bahasa
Indonesia, kasar tidaknya sebuah ungkapan di antaranya ditentukan oleh pilihan
kata, susunan kalimat, nada yang digunakan, dan situasi penggunaannya. Pada
kasus “Masalah buat lo?” dibalik-balik susunannya tetap mengesankan hubungan
yang tidak harmonis dan kesan ketinggian hati penuturnya. Si penutur terlihat
tidak bersedia dipersalahkan dan itu sekadar masalah bagi si “pemerotes”. Hal
ini akan memiliki arti yang berbeda ketika kosa katanya diganti dan kalimatnya
menjadi (1) Apakah saya salah? (2) Mengapa Anda tidak setuju? atau
kalimat-kalimat dengan pilihan kata lain yang di dalamnya menyiratkan sebuah
empati, keinginan bekerja sama, atau keinginan untuk berdamai.
Selain kalimat “Masalah
buat loe?” ada pula kalimat “Trus, gue harus bilang wow, gitu?” Kabar
angin menyebutkan bahwa kalimat “Trus, gue harus bilang wow, gitu?”
dipopulerkan melalui sinetron “Yang Masih di Bawah Umur”, sinetron yang tayang
pada sebuah stasiun televisi swasta yang ada di Indonesia. Pada sinetron
tersebut tergambar tokoh yang diperankan oleh Natasha Wilona yang tidak mau
“dikalahkan”. Ketika merasa dikalahkan atau direndahkan, kalimat “Trus, gue
harus bilang wow, gitu?” dengan berbagai varianlah yang muncul dari bibirnya.
Natasha Wilona, ejpix.com |
Kalimat “Trus, gue harus
bilang wow, gitu?” memiliki implikasi yang sama dengan kalimat pertama,
“Masalah buat loe?”, sama-sama menunjukkan ketidakempatian penuturnya. Pada
kondisi tertentu dapat pula menunjukkan ketinggian hati, keegoisan. Pusat dari
permasalahan ini sesungguhnya masalah kesantunan. Seseorang yang menjaga
kesantunan dalam berbahasa tidak akan pernah mengucapkan kata-kata yang
merendahkan, menyinggung, apalagi membuat marah pendengarnya. Bahasa santun
merupakan bahasa yang bertujuan komunikatif dengan tetap memperhatikan aspek
lain sehingga selain bertujuan menyampaikan gagasan-gagasan juga memperhatikan
penerimaan yang baik oleh semua pihak.
Kalimat “Masalah buat
loe?” menjauhkan penuturnya dari kata-kata maaf yang santun dan kalimat “Trus,
gue harus bilang wow, gitu?” menjauhkan penuturnya dari kata-kata sanjungan,
pujian, atau penerimaan yang bermartabat dan memartabatkan seseorang.
Kehadiran kedua kalimat
yang lengkap dengan efek negatifnya ini, disinyalir akibat arus globalisasi
informasi. Segala sesuatu, baik yang berguna maupun yang sifatnya negatif, akan
mudah masuk ke rumah-rumah masyarakat, bahkan sampai ke area-area yang sangat
pribadi. Anak-anak yang sejatinya belum dibolehkan mengakses, kadangkala tanpa
disadari ikut menyerap dengan baik oleh karena dekatnya informasi tersebut
dengan si anak.
Mau tidak mau, hal-hal
seperti ini akan berpengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia. Walaupun
begitu, tidak akan sampai pada mengganggu eksistensi bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia dengan kondisi seperti saat ini dan dengan pengawalan lembaga
setingkat badan diperkirakan akan tetap eksis. Hanya saja, proses
pembelajarannya pada generasi mendatang mungkin akan memiliki kadar kesulitan
yang lebih tinggi. Untuk itu, UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) tentu
harus diaplikasikan pada berbagai bidang, di antaranya dengan cara dijadikan
persyaratan dalam penerimaan karyawan (negeri maupun swasta), menjadi syarat
kelulusan siswa dan mahasiswa, dan menjadi syarat dalam penerimaan siswa atau
mahasiswa pada jenjang yang lebih tinggi.
Eksistensi UKBI diyakini
juga mampu menciptakan kesadaran pada masyarakat Indonesia akan pentingnya
bahasa Indonesia. Dengan kesadaran ini, pembelajaran bahasa Indonesia, baik
dalam situasi formal, nonformal (termasuk di dalamnya pembelajaran mandiri),
akan semakin marak, sesemarak pembelajaran bahasa Inggris dengan tes TOEFL dan
TOEIC-nya saat ini--bahkan bisa jadi lebih marak. Jika ini terealisasi, para
pencetus Sumpah Pemuda tentu akan dapat tetap “tersenyum”.
Selamat memperingati
hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928--28 Oktober 2012.
REFERENSI
Sugono, Dendy, dkk (ed). 1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Zain, Ahmd. 2012. “Masalah
Buat Loe”. http://ahmadzain.web.id/masalah-buat-loe/ diakses 28 Oktober 2012.
1 komentar:
Gue harus bilang wow, gitu? :-D
Posting Komentar