Bulan Depan

Sabjan Badio

chrismadden.co.uk
Langit malam ini begitu gelap, tanpa bintang. Desau angin merasuk ke celah jaketku. Kubayangkan di rumah nanti aku akan segera meringkuk di pembaringan, melepas penat dan segala gundah. Atau, setidaknya aku bisa bermain sebentar dengan sulungku yang belum satu tahun. Istriku, ah, ia mulai mual-mual dan nafsu makannya kian bertambah. Lelah wajahnya, senantiasa berkelebat dalam benakku. Aku semakin sering meninggalkannya.

Hari ini aku kembali pulang malam. Ada tugas yang harus segera aku selesaikan, buku-buku yang lusa harus sudah cetak. Ada dua hal yang aku pikirkan setiap kali lembur. Pertama, masalah tanggung jawab. Kedua, aku akan dapat tambahan gaji. Sayangnya itu belum seberapa jika menengok utang yang harus aku bayarkan bulan depan. Bulan berikutnya, aku sudah berjanji pada sahabatku untuk mengembalikan pinjaman tiga bulan yang lalu. Hal itu tidak mungkin aku undur, mengingat betapa baiknya dia, dan lagi bulan depan memang uang itu akan digunakan. Ah, bulan depan, jangan dibayangkan itu masih tiga puluh hari. Bulan depan sama saja pekan depan lantaran ini sudah di akhir penanggalan, dan pekan depan itu artinya tujuh hari lagi.

Kumatikan mesin sepeda motor. Istriku tersenyum menyambutku, membawakan bawaanku, serta melepaskan jaketku.

“Adik sudah tidur,” katanya memberi tahu. Aku pandangi wajah sulungku. Bayi laki-laki yang menggemaskan. Tidurnya tenang. Andai aku dapat tidur seperti dirinya. Kurebahkan tubuhku di samping bayiku. Makan dan minum yang ditawarkan istriku tidak juga aku sentuh. Kutatap langit-langit kamar. Kosong. Hanya pendar lampu Philips yang mulai meredup. Kutaksirkan puluhan jam lagi akan genap seribu jam, setelahnya minta ganti. Dua ekor cicak berkejaran. Satu dari yang lain berhasil menangkap temannya, menggigit lehernya, dan mereka saling menyatu. Kepak ekor keduanya membentur eternit, terdiam beberapa saat lalu dalam gerakan cepat, lari bersembunyi. Adegan itu cukup membuatku tersenyum. Mereka enak, tidak punya malu. Tidak memikirkan ada makhluk lain yang bergelut dengan utang yang segera ditunaikan. Lebih aneh lagi, makhluk itu adalah aku.

“Kenapa Dang? Capek?” sapa istriku. Aku masih terdiam. Rasanya tak layak untuk membicarakan masalah ini. Betapa lamanya dia menanti kepulanganku. Kalau tiba-tiba aku menyelipkan masalah ini di antara senyumnya, mungkinkah senyum itu tidak akan hilang.

Dang memikirkan masalah utang itu ya?” Tentu saja istriku akan cepat sekali membaca pikiranku. Akhir-akhir ini topik diskusi kami tidak jauh dari masalah itu.

“Tidak perlu risau,bulan depan ada tambahan uang lembur. Gaji Dang ditambah gajiku, tentulah cukup untuk melunasi utang,” sanggah istriku.

“Lantas, buat makan?” aku mulai gusar.

“Nanti juga ada, sabar saja.” Aku kembali diam. Terus terang aku ingin yang pasti-pasti. Bisa saja kami makan nasi lauk garam, tapi apa aku tega memberi makan keluargaku seperti itu? Tenggelam dalam pikiranku. Agaknya, istriku tidak berani melanjutkan pembicaraan.

“Kalau cari utangan lain, bagaimana?” suaraku memecah hening.

“Siapa?”

“Temanmu.”

“Rasanya tidak ada.”

Kami kembali hanyut dalam angan masing-masing. Rasanya semua menjadi buntu, dan tubuhku bertambah-tambah penat.

“Ya… kalau tidak semua, ya separuh tidak mengapa. Bulan depan aku kembalikan… O… begitu, ya… ya… tidak apa-apa. Maaf merepotkan. Ya… ya… Assalamu’alaikum.” Klik. Istriku, menutup mukanya.

“Dik…,” aku heran dengan tingkahnya.

“Tuh… kan apa kubilang,” kata istriku.

“Ada apa?” aku belum mengerti arah pembicaraannya.

“Temanku tidak mau meminjami uang. Katanya uang yang ada sudah dimasukkan rekening semua. Ia tidak berani mengambil, katanya untuk masa depan. Lain kali aku tidak mau pinjam padanya. Malu aku.” Istriku mengakhiri penjelasannya.

“Astaghfirullah,” batinku. Rupanya istriku menelpon temannya untuk mencari pinjaman. Setahuku ia tidak pernah meminjam barang-barang, terlebih uang kepada orang lain. Bisa kubayangkan betapa ia sangat terpaksa untuk melakukannya. Kupandangi wajah istriku. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menentramkannya selain genggaman erat jemariku.

Dini hari aku terbangun. Tubuhku demam. Duh, apalagi ini. Pikiranku sangat kacau. Bukannya seharusnya aku bangkit dan menyongsong rezeki, ini malah badan tidak enak, pusing, dan lemah. Istriku mengoleskan balsem di punggung dan perutku.

“Hati-hati kalau pulang malam. Mungkin dang masuk angin.”

Sedikit sakitku berkurang, namun saat siang hari, sakit itu kembali menyerang. Istriku pulang lebih awal dari biasanya. Tampaknya ia mulai panik.

“Ke dokter ya?”

Aku menggeleng.

“Sebentar juga sembuh,” istriku menawarkan banyak makanan, namun aku sama sekali tidak berselera. Perutku mual dan merasa tidak lapar. Begitu hingga hari ketiga berlalu. Tidak ada perubahan, dan aku tetap tidak mau dibawa ke dokter.

Entah apa yang ada dalam pikiran istriku. Hari itu ia ngotot membawaku ke rumah sakit.

“Kalau sakit, siapa yang susah. Aku, anak….” Aku tidak mau mendebat istriku. Emosinya bisa saja naik tiba-tiba, ditambah keluhannya yang masih merasa mual-mual. Akhirnya aku berada di ruang emergency. Vonis yang jatuh padaku: DB. Harus opname. Butuh enam kantung darah. Istriku, mula-mula yang aku bayangkan. Betapa ia menjadi sibuk, antara bekerja, mengasuh anak, mengurusi kehamilannya, ditambah lagi mengurusi diriku. Benar-benar keadaan yang tidak mengenakkan.

“Kemana aku mencari golongan darah seperti punya Dang? Keluargaku golongan darahnya tidak ada yang sama. Keluarga Dang, tidak ada yang tinggal di sini. Di PMI baru ada satu kantung….” Aku tercekat. Mengapa istriku harus segusar itu.

“Teman-temanku sudah kuhubungi. Semua tidak ada yang cocok. Dua yang ada, berat badan tidak mencukupi, satu lagi berat badan cukup, namun sedang flu.” Hampir setiap waktu istriku memberi laporan. Entah sudah berapa puluh ribu pulsa yang ia habiskan sekadar mencari tahu siapa yang bisa menjadi donor. Megetahui golongan darah teman-teman tidak lagi hal sepele. Terkadang, saat berkenalan dengan orang tidak terbayang dalam otak kita untuk tahu golongan darahnya, apalagi berusaha mencatatnya. Allah, aku benar-benar pasrah. Pada hari kedua, istriku berhasil mengumpulkan enam kantung darah. Lima pendonor yang rela berbagi darah untukku, padahal saat itu Ramadan telah tiba. Dari lima orang tersebut, hanya satu orang yang kami kenal baik, selebihnya kami tidak tahu. Katanya temannya si A, si B. Aku terharu, tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena selepas mendonorkan darahnya mereka terus pulang. Tidak sempat kami bertanya tentang nama dan alamat mereka. Semoga Allah yang akan mengganti kebaikan mereka.

Kondisiku mulai membaik. Istriku, meski lelah, masih sempat membawa sulungku ke rumah sakit. Sebentar memang, namun itu cukup mengobati rasa bersalahku karena tidak jadi mengajaknya jalan-jalan saat usianya genap satu tahun.

“Tidak apa-apa Dang. Kata yang ngasuh, ia tidak rewel. Dang ikuti petunjuk dokter biar cepat pulih, terus pulang.”

“Terus…. utang kita?” pertanyaanku tidak mengada-ada. Ini sudah awal bulan.

“Stt… aku cari pinjaman pada temanku.”

“Temanmu mau meminjami?”

“Ini lain orang. Sebenarnya ia tidak punya, namun ia berjanji akan mencarikan pinjaman di koperasi. Kira-kira tanggal sepuluh uangnya akan diantar.”

“Pinjam koperasi?” tanyaku.

“Iya Dang, ia yang nyicil. Kita tinggal bayar ke dia.”

“Merepotkan,” gumamku.

“Iya, tapi katanya ia ikhlas, malah senang dapat membantu.” Istriku tidak malu menceritakannya padaku. Barangkali orang ini benar-benar ingin membantu.

“Tapi, biaya rumah sakit bagaimana?” Sebenarnya aku tidak tega mengatkannya pada istriku. Benar saja, istriku termangu. Tanpa pikir panjang, aku meraih telepon genggam dan menghubungi adikku di Bengkulu. Padanya kuminta untuk segera mengirimkan uang buat biaya rumah sakit. Kalau kondisi biasa, aku tidak mau berbuat demikian, namun saat ini aku benar-benar butuh uang. Apalagi dokter sudah mengatakan bahwa esok aku sudah boleh pulang.

Di depan kasir, tubuh istriku merapat ke arahku. Biaya opname selama delapan hari cukup besar. Di saat itulah pertolongan Allah datang. Ternyata, seluruh biaya rumah sakit ditanggung PT Askes. Aku menerima kuitansi pembayaran dengan nilai nol rupiah.

Di rumah, istriku berseloroh.

“Logika Tuhan berbeda dengan logika manusia.”

Aku tidak menyahut, namun memang begitu adanya. Selama di rumah sakit, banyak kerabat dan kawan yang menjenguk. Banyak di antara mereka yang menyelipkan amplop saat bersalaman pulang. Kantor tempat kami bekerja pun ikut mengulurkan perhatiannya. Setelah dihitung, uang yang terkumpul sejumlah sama dengan utang yang harus kami bayar. Istriku tidak jadi mengambil pinjaman dari temannya. Uang dari adikku juga aku kembalikan. Rupanya, sakitku adalah jalan dari Allah untuk menyelesaikan urusanku.

Dang, andai temanku dulu mau meminjamkan uangnya, pasti juga sudah kita kembalikan ya?”

“Temanmu yang mana?”

“Itu lho… yang beralasan uangnya disimpan di bank, yang ia tidak berani mengambilnya.”

“Hush… sudah, tidak perlu diingat,” kataku.

“Iya… aku juga tidak lagi kecewa. Masalahnya, dia itu punya uang, terus pada teman sendiri tidak mau meminjamkan, padahal aku sudah berjanji bulan depan akan mengembalikan, masih saja tidak mau meminjamkan. Lha, temanku yang satunya lagi. Tidak punya duit, justru ngotot mau ngasih pinjaman, sampai harus utang koperasi di tempatnya bekerja. Padahal dibalik itu, Allah sendiri yang menyelesaikan urusan kita.”

“Stt”… ,” sanggahku lagi.

“Gini lhoDang, imbasnya kan beda. Pada teman yang mau menolong, kita setulus hati mendoakan kebaikannya. Lagi pula, kalau ada orang yang minta tolong, sebenarnya itu kesempatan kita untuk berbuat baik. Tidak tiap hari kesempatan itu hadir.”

“Iya, iya… istriku cantik. Dan selama aku sakit, itu juga kesempatan dirimu untuk berbuat baik kan? Merawat suami dan mendoakan kesembuhannya.”

Istriku tersipu. Kuelus perutnya. Dari lubang angin kulihat langit bertabur bintang. Indah sekali. Dan Allah tidak pernah alpa dengan ciptaannya, dialah Rab Sang Pemelihara.


2 komentar:

Dyah mengatakan...

Ada apa dengan bulan depan?

SB mengatakan...

Ada cerita tentang bulan depan :-D

Tulisan Populer Pekan ini