Menimbang Pemanfaatan Website Sekolah sebagai Media Pembelajaran Baca-Tulis untuk Mapel Bahasa Indonesia

www.unm.edu 
Sabjan Badio

Awal 2012, Pandi (Pengelola Nama Domain Indonesia) merilis bahwa terdapat 6.788 domain yang pengguna .sch.id di Indonesia. Data ini mengindikasikan bahwa paling tidak ada 6.788 sekolah Indonesia yang memiliki website. Dikatakan paling tidak karena data ini belum mengalkulasi domain yang menggunakan .com, org, or.id atau domain-domain yang masih berstatus sebagai sub (masih menginduk kepada blogspot.com, wordpress.com, dan lain-lain). Jika semua domain tersebut diperhitungkan, jumlahnya diperkirakan akan jauh lebih besar.

Dengan jumlah website sekolah sebanyak itu, dapat dibayangkan banyaknya informasi yang dapat disebarluaskan melalui perantara website sekolah. Jika dalam satu minggu satu saja guru yang menulis materi pelajaran dan memublikasikannya di website, paling tidak akan ada 27.152 (6.788 x 4) materi pelajaran yang terpublikasi dalam satu bulan.

Angka ini akan menjadi fantastis jika seluruh sekolah di Indonesia memiliki website dan seluruh gurunya menulis materi pelajaran atau artikel di website tersebut. Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, setidaknya ada 2.39.430 sekolah terakreditasi di Indonesia. Jika asumsinya masih satu pekan satu artikel, itu artinya sekolah dapat memublikasikan tulisan sampai 9.57.720/bulan. Berapa banyak materi yang dipublikasikan jika tiap guru memublikasikan satu tulisan tiap pekan? Jumlah ini akan semakin luar biasa jika memperhitungkan bahwa guru dalam satu mapel sangat mungkin menghasilkan lebih dari satu tulisan.

Materi yang dipublikasikan secara online tersebut akan bisa diakses oleh banyak pihak tanpa batasan waktu dan geografis. Siswa dan guru dapat mengakses data 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan dari mana pun dia berada selama ada akses internet. Dengan konsep ini, para siswa dapat belajar lintas sekolah. Jika materi tidak ditemukan di website sekolah satu, bisa mengakses materi di website sekolah lain. Jika ini benar-benar diterapkan, bisa jadi penggunaan buku pelajaran bisa dikurangi. Dengan demikian, biaya untuk pembelian buku pelajaran bisa ditekan.

Bisa dibayangkan dengan bermodalkan satu buah komputer atau laptop, para siswa dapat memperoleh banyak materi/sumber belajar. Jika dikalkulasi, hal ini akan lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian media pembelajaran (buku teks, CD pembelajaran) untuk tiap-tiap mata pelajaran.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan yang dituntut untuk dikuasai siswa adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Khusus pembelajaran membaca, hambatan yang biasa muncul adalah keterbatasan bahan bacaan. Hanya sekolah-sekolah tertentu saja yang mampu memiliki perpustakaan yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan para siswa-siswanya. Keberadaan website sekolah yang dimanfaatkan secara maksimal, sedikit banyak dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut. Website sekolah merupakan data digital yang dapat dimanfaatkan secara bersamaan dalam satu waktu.

Selain untuk kepentingan pembelajaran membaca, website sekolah pun dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran menulis. Merupakan hal yang wajar jika dalam aktivitas tulis-menulis para siswa membutuhkan motivasi. Janji akan dipublikasikan merupakan motivasi yang besar bagi para siswa. Mereka yang masih menapaki tahap perkembangan emosi memiliki kecenderungan suka tampil. Para siswa akan bangga jika tulisannya “nampang” di website sekolah dan mendapat respons dari warga sekolah.

Akan tetapi, jauh panggang dari api. Harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Jangankan mengharapkan seluruh sekolah di Indonesia memiliki website yang produktif, sekolah-sekolah yang sudah memiliki website pun banyak yang sekadar mempublikasikan ulang materi-materi yang telah dimuat dari situs lain. Bukan tidak boleh, hanya saja keberadaan dan nilai kebermanfaatan website yang sifatnya hanya republish tentu akan menjadi rendah.

Berbagai Hambatan

Ada banyak hal yan g disinyalir menjadi kendala dalam pemanfaatan website sekolah untuk kepentingan pembelajaran baca-tulis. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya (1) tradisi membaca para guru masih rendah, (2) tradisi menulis para guru masih rendah, (3) sekolah tidak memiliki tenaga khusus pengelola website, (4) tidak tersedianya piranti yang memadai.

Pertama, masih rendahnya tradisi membaca para guru. Indikasi rendahnya minat baca ini terlihat dari sedikitnya buku yang terbit di Indonesia. Berdasarkan data Kompas.com (29/2/2012), oplah produksi buku di Indonesia pada tahun 2011 masih sebanding dengan Malaysia dan Vietnam. Padahal, jumlah penduduk Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut. Masih berdasarkan data Kompas.com, perbandingan produksi buku di Indonesia dengan jumlah WNI diperkirakan hanya 1 : 80.000, satu buku dibaca oleh 80.000 orang.

Seperti kita ketahui, rata-rata perusahaan penerbit di Indonesia adalah perusahaan swasta. Itu artinya, mereka memproduksi barang berdasarkan permintaan. Dapat disimpulkan bahwa, angka produksi tersebut merupakan hasil analisis pasar perusahaan-perusahaan penerbit di Indonesia. Kita lihat, pada kasus-kasus buku best seller, perusahaan akan memproduksi ulang secara terus-menerur satu judul buku, sepanjang ada permintaan atas buku tersebut. Jika perusahaan hanya memproduksi satu buku untuk 80.000 rakyat Indonesia, itu artinya, sebesar itulah daya beli masyarakat. Rendahnya tingkat kepemilikan buku ini, sedikit banyak menggambarkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia telah dibuktikan oleh survei beberapa lembaga Internasional (Okezon.com, 8/7/2011). Unesco menyimpulkan, minat baca masyarakat Indonesia terendah di ASEAN. Di tingkat dunia, dari 39 negara, Indonesia menempati posisi ke-38. Tidak kalah memprihatinkan, data UNDP menunjukkan posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos yang masing-masing berada di urutan angka seratus.

Sebenarnya, jauh­­­-jauh hari, pemerintah telah menyadari akan pentingnya arti membaca ini. Itulah alasan tanggal 12 November 2003 dicanangkan sebagai gerakan membaca nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (Pelita.or.id). Gerakan membaca ini awalnya bertujuan menurunkan angka buta aksara. Ujung-ujungnya tentu untuk membangun tradisi membaca di semua lapisan masyarakat Indonesia.

Jika gurunya saja jarang membaca, mustahil pula mereka akan dengan gigih berjuang untuk membiasakan para siswanya membaca. Berdasarkan pengamatan selama ini, para guru lebih suka memanfaatkan buku teks pelajaran atau lembar kerja siswa agar mereka bisa mengajar dengan mudah dan tidak perlu bersusah-payah karena media-media tersebut biasanya dilengkapi dengan kunci-kunci jawaban yang memanjakan.

Kedua, tradisi menulis guru masih rendah. Jika tradisi membaca masyarakat Indonesia saja masih rendah, bagaimana dengan tradisi menulis para gurunya? Agus Sartono (Kepala Biro PKLN Kemdiknas RI, sekarang Kemdikbud RI) melalui Republika Online (18/3/2010) mengungkapkan, rendahnya tradisi menulis para guru dibuktikan dengan sedikitnya guru yang sanggup naik pangkat ke Golongan IVB dan IVC, apalagi IVD dan IVE.

Masih menurut Agus Sartono, rendahnya tradisi menulis ini ternyata juga menjadi penyakit para dosen. Jumlah publikasi ilmiah nasional dosen hanya sebanyak enam persen dan internasional hanya 0,2 persen.

Guru dan dosen, sebagai ujung tombak dunia pendidikan, tentu sudah sepantasnya memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menulis. Jika tidak, bagaimana mereka akan mendidik generasi penulis masa depan? Seperti kata pepata, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru yang terbiasa menulis, akan melahirkan generasi-generasi penulis masa depan.

Tradisi menulis ini sesungguhnya berjalin berkelindan dengan tradisi membaca. Seseorang yang tidak terbiasa membaca, akan kesulitan melahirkan tulisan-tulisan berkualitas. Sebaliknya, meningkatnya daya beli dan baca masyarakat terhadap buku erat kaitannya dengan buku-buku berkualitas yang diproduksi.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis, hal ini memunculkan sebuah tanda tanya besar: mungkinkah seorang guru yang tidak biasa menulis akan membimbing siswanya menulis bahkan sampai memanfaatkan berbagai media, termasuk di dalamnya website sekolah?

Ketiga, sekolah tidak memiliki tenaga khusus pengelola website. Sampai saat ini, masih sangat jarang PNS di sekolah yang berprofesi  khusus sebagai pengelola website sekolah. Hal ini pun terjadi di sekolah-sekolah swasta. Biasanya, pengelolaan website hanya sebagai pekerjaan sampingan para guru atau staf TU.

Jika pengelolaan website masih dimarginalkan, perkembangan website sekolah akan begitu-begitu terus. Pengelolaan website bukanlah pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan dalam waktu satu atau dua menit saja. Pengelolaan website, paling tidak membutuhkan dua unsur keahlian. Keahlian pertama adalah keahlian teknologi informasi. Keahlian kedua adalah keahlian dalam bidang penulisan dan penyuntingan.

Guru-guru yang sudah mencoba mempublikasikan tulisannya, banyak yang tersandung oleh kasus plagiasi atau penjiplakan. Mereka tidak mengerti tata aturan dalam pengutipan. Pada kasus seperti ini, para guru membutuhkan pengelola website yang mengerti tentang penulisan dan penyuntingan. Petugas inilah yang kemudian memeriksa kelayakan sebuah tulisan, baik dari sisi kualitas maupun dari sisi legalitas (originalitas).

Sesuai ketetapan pemerintah, bahwa batas minimal pendidikan seorang guru adalah S1 (sarjana). Untuk lulus menjadi sarjana, seseorang pastilah telah melalui proses penulisan karya ilmah, baik tugas akhir skripsi maupun tugas akhir bukan skripsi. Aneh bin ajaib tentunya, jika dalam satu sekolah tidak ada yang mampu menulis apalagi jika sampai tidak mengerti tata aturan dalam pengutipan dan penyaduran.

Selain berkaitan dengan guru, pengelola website pun memiliki peran strategis menyosialisasikan keberadaan dan penggunaan websie sekolah kepada para siswa. Ketika disertakan dalam pembelajaran membaca dan menulis, hendaknya mereka sudah familiar dengan website sekolah. Jangan sampai aktivitas yang sejatinya pembelajaran baca-tulis berubah menjadi ajang sosialisasi penggunaan website.

Permasalahan website yang sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan dan bagaimana pemanfaatannya sesungguhnya sudah dijembatani oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud. Balitbang Kemdikbud memfasilitas sekolah-sekolah yang berkeinginan memiliki website berkualitas yang memiliki content sesuai kebutuhan sekolah. Fasilitas tersebut kita kenal dengan CMS Balitbang. Tidak sekadar menyediakan CMS, Balitbang Kemdikbud pun membentuk tim sosialisasi yang tugasnya memberikan pelatihan kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam penggunaan CMS Balitbang.

Berdasarkan pengamatan, CMS Balitbang ini memiliki fitur ganda. Pertama, fitur untuk masyarakat umum. Kedua, fitur untuk anggota. Fitur untuk masyarakat umum layaknya website biasa. Sementara itu, fitur untuk anggota telah disesuaikan dengan kebutuhan sekolah,  mulai ujian online, penyediaan materi pembelajaran, presensi online, sampai jejaring sosial ala Facebook.

Sayangnya, "tangan" Balitbang Kemdikbud ini kerap hanya sekadar sampai pada peserta pelatihan dan terwujudnya website sekolah. Setelah itu, tidak ada tindak lanjut dari pihak sekolah untuk menyosialiasikan penggunaan sampai meramaikannya. Jangankan dimanfaatkan secara maksimal, tenaga yang mengelola saja tidak pernah ditetapkan.

Keempat, piranti yang memadai untuk menunjang pembelajaran menggunakan website hanya dimiliki oleh sekolah tertentu. Sebagian besar sekolah di Indonesia belum memiliki piranti yang memadai—termasuk di dalamnya ketersediaan laboratorium komputer dan bahasa beserta akses internet. Ada dua kemungkinan mengapa hal ini terjadi. Kemungkinan pertama dikarenakan sekolah memang tidak mampu dan kemungkinan kedua berkaitan dengan kebijakan kepala sekolah.

Walaupun sekolah mampu, jika kebijakan untuk pemaksimalan penggunaan website sekolah tidak ada, tentu aktivitas pemanfaatannya pun akan terkendala. Kontribusi para guru cukup besar dalam mengatasi masalah ini. Pada lembaga pendidikan sudah seharusnya semua keputusan diambil sesuai aturan dan secara demokratis. Itu artinya, sangat mungkin para guru mengusulkan pembahasan tentang pemanfaatan atau pemaksimalan pemanfaatan website sekolah, khususnya untuk pembelajaran baca-tulis mata pelajaran (mapel) bahasa Indonesia.

Disadur dari:
Badio, Sabjan. 2011. “Meramaikan Website Sekolah”. http://pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=13.





6 komentar:

Anonim mengatakan...

Indonesia itu sering disibukkan dengan persiapan ini, itu. Ketika tersedia sedikit kelengkapan, sibuk lagi dengan kelengkapan yang belum ada. Jika menunggu sempurna, akan sampai kapan?

SB mengatakan...

@ anonim, sy setuju Indonesia seperti itu. Hanya saja, jika kita tahu itu kurang bagus, mari bersama-sama untuk tidak secara berjamaah melakukan hal-hal yang kurang baik. Kita mulai dari diri sendiri, memanfaatkan segala sesuatu yang ada semaksimal mungkin.

Siska mengatakan...

Saya setuju kalau website sekolah memang bermanfaat. Hanya saja, kondisi di Indonesia tidak dapat dianalogikan secara matematis seperti itu. Banyak sekolah yang untuk bertahan hidup saja sulit apalagi untuk mengembangkan teknologi bernama website.

SB mengatakan...

Saya setuju. Walaupun begitu, bukan berarti kita harus menunggu yang (maaf) belum mampu terlebih dahulu, bukan?

Yaraihan mengatakan...

Kami telah mencoba melakukan hal itu. Hanya saja, pelaksanaannya tetap kesulitan. Mendatangkan pengelola website bukanlah pekerjaan mudah. Mengisinya, sekali dua kali mungkin bisa, setelahnya, tetap kesulitan meminta guru menulis.

SB mengatakan...

@ Yaraihan
Begitulah, memang butuh perjuangan :-D

Tulisan Populer Pekan ini