Bahasa Puitis

André Möller
Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia

vanseodesign.com
Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Walaupun memayahkan, menjemukan, dan sesekali menjengkelkan, bergaul dengan kamus-kamus setiap hari juga bukan kegiatan yang tidak membawa manfaat atau dapat membuka mata dengan lebih lebar. Kamus-kamus akhirnya jadi teman setia yang selalu sudi memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam.

Selama lima bulan ini saya sering diingatkan mengapa pada awalnya saya suka pada bahasa Indonesia ketika sudah mulai mempelajarinya. Saya dulu kala sering tersenyum ketika menyadari dan memahami unsur-unsur puitis yang melekat pada bahasa kita ini. Mari kita saksikan tiga contoh pendek. Barangkali kata pertama dalam kategori ini adalah matahari. Sehari-hari kita tentu saja tidak memikirkan makna kata ini, tapi jika direnungkan sejenak, maka kata ini akan terasa cukup indah dan puitis: setiap hari ada jasad besar di langit yang mencerahkan kehidupan kita, dan benda agung ini secara pantas kita sebut ”matanya hari” atau matahari.

Tetap berhubungan dengan langit, adapun contoh kedua: kata horizon (mengapa dieja dengan z?) yang memiliki padanan yang lebih puitis: kaki langit. Bayangkan sendiri: langit memiliki kaki dan menempatkannya jauh di sana, seolah-olah kaki ini terima seluruh beban dari langit yang tak ada batasnya itu.

Contoh ketiga sering muncul sekitar tahun baru dan Lebaran, dan terutama dalam berita kurang baik berhubungan dengan mercon dan petasan. Tapi, cobalah simak kata puitis ini: kembang api. Jelaslah bahwa ini bukan hanya percikan warna-warni di langit gelap atau alat anak-anak untuk mengganggu tetangganya, tapi ini sebuah bunga yang menggambarkan diri melalui api. Bukan main!

Contoh-contoh kata puitis seperti ini, yang terdiri dari dua kata, masih banyak dalam bahasa Indonesia (coba cari sendiri!), tapi selain itu ada juga kata yang berdiri sendiri dan tetap memiliki unsur puitis. Kata meninggal dan berpulang adalah dua contoh dalam kategori ini.

Tidak jarang orang Indonesia menggambarkan bahasa nasionalnya sebagai bahasa yang kurang lengkap, tidak mampu mengikuti perubahan zaman dan kurang ekspresif. Akan tetapi, benarkah itu? Atau itu hanya alasan agar orang bisa mengimpor kata dari luar dan agar tak usah membuka-buka kamus dan mencari-cari alternatif yang lebih menarik, ekspresif, dan puitis?

Yang pasti, orang yang rajin membuka kamus dan punya ingatan yang baik, tentu saja jarang akan kekurangan kata-kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kalaupun terasa kurang, bahasa-bahasa daerah tentu saja siap mendukung.

Akhirulkalam, walau Anda tidak bertekad menyusun sebuah kamus, sesekali bergaullah dengan kamus-kamus yang sudah ada. Moga-moga mereka akan jadi bagaikan kembang api di kaki langit.

2 komentar:

Siska mengatakan...

melihat kesetiaan Andre Moller atas bahasa Indonesia membuat saya ragu kalau sesungguhnya dia orang Swedia.

SB mengatakan...

@ Siska
Konsistemsi Andre Moller dalam menulis menggunakan dan tentang bahasa Indonesia memang patut diacungi jempol.

Tulisan Populer Pekan ini